Pages

Jumat, 31 Oktober 2014

Kebijakan Ekonomoi Pemerintah Yang Tidak Memihak Rakyat

  Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai wakil negara hingga kini masih menunjukkan ketidakberpihakan kepada rakyat. Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait ekonomi yang seharusnya untuk kebaikan bersama, kini telah disalahgunakan untuk kesejahteraan segelintir orang. Sehingga, kebijakan tersebut menjadi remeh-temeh, tidak memprioritaskan kepentingan rakyat.


  Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik/penguasa tak luput telah melahirkan tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat banyak. Inilah banalitas kebijakan ekonomi yang masih mengganggu kemajuan bangsa Indonesia yang mesti mendapat perhatian serius dari kita semua. 

  Contoh kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat banyak bisa dilihat dari hasil penelitian Donny Tjahja Rimba dalam bentuk disertasi berjudul ''Hubungan Negara dan Pengusaha di Era Reformasi. Studi Kasus: Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)''. Dia mengatakan, kelompok Bisnis Bakrie dibuktikan telah memengaruhi kebijakan negara setidaknya dalam dua kasus. Pertama, divestasi saham Newmont. Kasus kedua, bencana Lumpur Lapindo.

  Pada kasus pertama, pengusaha mempergunakan pemerintah daerah sebagai instrumen kekuasaan untuk membeli saham divestasi dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga pasar dan mendapat hak pertama untuk membeli. Pada kasus kedua, pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab dalam menangani dampak bencana pada pemerintah pusat. Pengusaha mempergunakan instrumen politik negara melalui kebijakan presiden berupa keppres dan perpes agar melakukan kebijakan yang tidak merugikan pengusaha. Dan pembenaran atas kebijakan presiden ini dikuatkan oleh DPR, pengadilan, dan kepolisian.

  Memang, sejak reformasi pada tahun 1997 sampai 1998, perekonomian Indonesia terus membaik hingga tahun ini. tetapi, perlu diingat bahwa peningkatan perekonomian hanya membuat negara makmur, dan tidak membuat masyarakat sejahtera. Ini bisa dilihat dari tingkat kesenjangan pendapatan yang sangat tinggi antara yang kaya dan miskin. Saat ini di Indonesia ada 70 juta penduduk miskin.

  Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi, diukur dari indeks Gini, pada 2011 menjadi 0,41 dari 0,33 pada 2005. Seperti diketahui rentang indeks Gini adalah 0-1, semakin tinggi indeks tingkat kesenjangan makin lebar.

  Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011).

  Data yang dilansir Perkumpulan Prakarsa juga mengungkapkan kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar 680 triliun rupiah (71,3 miliar dolar AS) atau setara dengan 10,33 produk domestik bruto (PDB). Nilai kekayaan dari 40 orang itu setara dengan kekayaan 60 persen penduduk atau 140 juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.

Permainan Kekuasaan

  Proses pengambilan keputusan negara hingga kini masih menjadi permainan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek siluman yang melibatkan anggota DPR dan pemilik perusahaan besar yang belakangan ini banyak disorot media massa adalah satu contoh. Dalam konsesi tersebut, hubungan negara dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang kepentingan rakyat. Akibat fatalnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak terurus. 

  Tampaknya, reformasi politik yang digelorakan anak-anak bangsa 14 tahun yang lalu, belum menghadirkan reformasi ekonomi yang berkeadilan bagi semua. Pengerukan sumber-sumber daya ekonomi, misalnya pertambangan minyak dan gas, oleh pelaku bisnis atau investor asing kini semakin menyebabkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Ini semakin sempurna manakala penguasa-penguasa negeri ini ikut ''mengamini'' dengan memberikan keistemewaan berupa peraturan/undang-undang. Di sinilah kita menyaksikan absennya negara dalam menyejahterakan rakyat. 

  Persoalan hubungan pengusaha dan penguasa yang tidak banyak menguntungkan masyarakat kecil ini sebenarnya sudah diawali sejak era Orde Baru. Penguasa sedemikian rupa mengondisikan jejaring kekuasaan (the web of power) menjadi tempat bergantung kalangan pengusaha. Dan pada kenyataannya, Era Reformasi justru relasi itu semakin lengket, mesra, dan mengakar.

  Padahal, perkawinan antara pengusaha dan penguasa akan melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak pada pengusaha. Pengusaha akan memengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Bahkan, mereka rela mengeluarkan dana besar untuk memengaruhi penyusunan kebijakan agar kepentingan mereka terakomodasi dengan modus-modus yang canggih, bahkan manipulatif.

  Relasi pengusaha dan penguasa ini tidak hanya memengaruhi penyusunan kebijakan secara nasional, tetapi juga lokal. Dan tak jarang, ini memunculkan produk kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Dengan dalih balas budi, seorang penguasa yang ''didanai'' oleh pengusaha, akan cenderung memprioritaskan kepentingan-kepentingan pengusaha, ketimbang kepentingan rakyat yang seharusnya lebih diutamakan. Akibatnya, tugas dan fungsi utama sebagai penguasa menyejahterakan rakyat menjadi terabaikan.

Hubungan Gelap

  Ketika kekuasaan tidak lagi dipakai untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk pribadi atau kelompok pengusaha, maka tidak ada lagi peluang untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah melarat. Jalinan kerja sama antara pengusaha dan penguasa juga melahirkan berlangsungnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri tercinta ini. Apakah akibat buruk hubungan antara penguasa dan pengusaha ini sudah direnungkan baik-baik oleh orang nomor satu di negeri ini?

  Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan mengawasi secara menyeluruh dampak-dampak dari kebijakan tersebut. Kita harus membaca secara cerdas sepak terjang dan wacana yang digulirkan penguasa dan pengusaha berkenaan dengan sumber-sumber ekonomi Indonesia. Kita semua harus ingat bahwa semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia, termasuk kekayaan ekonomi adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik penguasa atau pelaku ekonomi tertentu.

  Intinya, segala bentuk kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah (politik) harus berdasarkan kerakyatan, kekeluargaan, dan gotong royong. Negara harus tunduk pada ideologi Pancasila dan semangat UUD Dasar 1945, bukan ideologi kapitalis atau neolib itu.

0 komentar:

Posting Komentar