Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah sebagai wakil negara hingga kini masih menunjukkan ketidakberpihakan
kepada rakyat. Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait ekonomi yang
seharusnya untuk kebaikan bersama, kini telah disalahgunakan untuk
kesejahteraan segelintir orang. Sehingga, kebijakan tersebut menjadi
remeh-temeh, tidak memprioritaskan kepentingan rakyat.
Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik/penguasa tak luput telah
melahirkan tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan
kelompok, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat banyak. Inilah banalitas
kebijakan ekonomi yang masih mengganggu kemajuan bangsa Indonesia yang mesti
mendapat perhatian serius dari kita semua.
Contoh kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha dan
merugikan rakyat banyak bisa dilihat dari hasil penelitian Donny Tjahja Rimba
dalam bentuk disertasi berjudul ''Hubungan Negara dan Pengusaha di Era
Reformasi. Studi Kasus: Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)''. Dia mengatakan,
kelompok Bisnis Bakrie dibuktikan telah memengaruhi kebijakan negara setidaknya
dalam dua kasus. Pertama, divestasi saham Newmont. Kasus kedua, bencana Lumpur
Lapindo.
Pada kasus pertama, pengusaha mempergunakan pemerintah daerah sebagai instrumen
kekuasaan untuk membeli saham divestasi dengan harga yang lebih murah dibanding
dengan harga pasar dan mendapat hak pertama untuk membeli. Pada kasus kedua,
pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab dalam menangani dampak bencana pada
pemerintah pusat. Pengusaha mempergunakan instrumen politik negara melalui
kebijakan presiden berupa keppres dan perpes agar melakukan kebijakan yang
tidak merugikan pengusaha. Dan pembenaran atas kebijakan presiden ini dikuatkan
oleh DPR, pengadilan, dan kepolisian.
Memang, sejak reformasi pada tahun 1997 sampai 1998, perekonomian Indonesia
terus membaik hingga tahun ini. tetapi, perlu diingat bahwa peningkatan
perekonomian hanya membuat negara makmur, dan tidak membuat masyarakat
sejahtera. Ini bisa dilihat dari tingkat kesenjangan pendapatan yang sangat
tinggi antara yang kaya dan miskin. Saat ini di Indonesia ada 70 juta penduduk
miskin.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi, diukur
dari indeks Gini, pada 2011 menjadi 0,41 dari 0,33 pada 2005. Seperti diketahui
rentang indeks Gini adalah 0-1, semakin tinggi indeks tingkat kesenjangan makin
lebar.
Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya
meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya,
total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004)
menjadi 16,85 persen (2011).
Data yang dilansir Perkumpulan Prakarsa juga mengungkapkan kekayaan 40 orang
terkaya Indonesia sebesar 680 triliun rupiah (71,3 miliar dolar AS) atau setara
dengan 10,33 produk domestik bruto (PDB). Nilai kekayaan dari 40 orang itu
setara dengan kekayaan 60 persen penduduk atau 140 juta orang. Data lain
menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.
Permainan Kekuasaan
Proses pengambilan keputusan negara hingga kini masih menjadi permainan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek
siluman yang melibatkan anggota DPR dan pemilik perusahaan besar yang
belakangan ini banyak disorot media massa adalah satu contoh. Dalam konsesi
tersebut, hubungan negara dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang
kepentingan rakyat. Akibat fatalnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak
terurus.
Tampaknya, reformasi politik yang digelorakan anak-anak bangsa 14 tahun yang
lalu, belum menghadirkan reformasi ekonomi yang berkeadilan bagi semua.
Pengerukan sumber-sumber daya ekonomi, misalnya pertambangan minyak dan gas,
oleh pelaku bisnis atau investor asing kini semakin menyebabkan kerusakan
lingkungan dan konflik sosial. Ini semakin sempurna manakala penguasa-penguasa
negeri ini ikut ''mengamini'' dengan memberikan keistemewaan berupa
peraturan/undang-undang. Di sinilah kita menyaksikan absennya negara dalam
menyejahterakan rakyat.
Persoalan hubungan pengusaha dan penguasa yang tidak banyak menguntungkan
masyarakat kecil ini sebenarnya sudah diawali sejak era Orde Baru. Penguasa
sedemikian rupa mengondisikan jejaring kekuasaan (the web of power) menjadi
tempat bergantung kalangan pengusaha. Dan pada kenyataannya, Era Reformasi
justru relasi itu semakin lengket, mesra, dan mengakar.
Padahal, perkawinan antara pengusaha dan penguasa akan melahirkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak pada pengusaha.
Pengusaha akan memengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Bahkan, mereka rela
mengeluarkan dana besar untuk memengaruhi penyusunan kebijakan agar kepentingan
mereka terakomodasi dengan modus-modus yang canggih, bahkan manipulatif.
Relasi pengusaha dan penguasa ini tidak hanya memengaruhi penyusunan kebijakan
secara nasional, tetapi juga lokal. Dan tak jarang, ini memunculkan produk
kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Dengan dalih balas budi,
seorang penguasa yang ''didanai'' oleh pengusaha, akan cenderung
memprioritaskan kepentingan-kepentingan pengusaha, ketimbang kepentingan rakyat
yang seharusnya lebih diutamakan. Akibatnya, tugas dan fungsi utama sebagai
penguasa menyejahterakan rakyat menjadi terabaikan.
Hubungan Gelap
Ketika kekuasaan tidak lagi dipakai untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk
pribadi atau kelompok pengusaha, maka tidak ada lagi peluang untuk menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang kaya semakin kaya, yang
miskin tambah melarat. Jalinan kerja sama antara pengusaha dan penguasa juga melahirkan
berlangsungnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri tercinta
ini. Apakah akibat buruk hubungan antara penguasa dan pengusaha ini sudah
direnungkan baik-baik oleh orang nomor satu di negeri ini?
Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini
harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan ekonomi yang
dikeluarkan pemerintah. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan mengawasi
secara menyeluruh dampak-dampak dari kebijakan tersebut. Kita harus membaca
secara cerdas sepak terjang dan wacana yang digulirkan penguasa dan pengusaha
berkenaan dengan sumber-sumber ekonomi Indonesia. Kita semua harus ingat bahwa
semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia, termasuk kekayaan ekonomi adalah milik
seluruh rakyat Indonesia, bukan milik penguasa atau pelaku ekonomi tertentu.
Intinya, segala bentuk kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah (politik)
harus berdasarkan kerakyatan, kekeluargaan, dan gotong royong. Negara harus
tunduk pada ideologi Pancasila dan semangat UUD Dasar 1945, bukan ideologi
kapitalis atau neolib itu.